Malaikat Kecil
“GAK BISA!” suaraku melengking dengan kencangnya. ”Kenapa gak bisa?! Aku pikir itu lebih baik buat Laras!!” kata Mas Lukman, suamiku tak mau kalah. ”Pokoknya gak bisa! Titik!” ”Pokoknya-pokoknya!! Kamu kalo udah mau menang sendiri pasti ngomong POKOKNYA!!” ”Biarin!” ”Kalo gitu, aku ndak bisa ngikutin kamu, kamu ndak bisa paksa aku setuju usulmu itu! Aku tetep pada pendirianku, tetap pada pilihanku! Laras harus sekolah di Budi Asih!” “Laras anakku juga mas, jadi aku juga berhak nentuin Laras sekolah dimana!!” mataku mulai menyala menahan emosi. Aku mau Laras masuk TK Mardi Grass, karena itu sekolah terfavorit. Semua, SEMUA anak-anak teman kantorku sekolah di sana. Gak salah dong, kalo aku juga mau anakku sekolah di sekolah yang terfavorit?? ”Tapi sekolah pilihanmu itu terlalu jauh buat Laras, Sri! Dia masih kecil, baru 4 tahun!! Dan, kamu tau kan biaya di pendidikan disana tidak murah?” ”Soal biaya, Mas gak usah pikirin!! Aku yang bayarr!!” ”SRI!!” Mas Lukman menghentak meja. “Jangan mentang-mentang kamu bekerja, penghasilanmu lebih tinggi dari aku lantas kamu merendahkan aku! Insya Allah, aku masih mampu menyekolahkan Laras setinggi-tingginya!” “Tapi tolong, Sri...” Lukman merendahkan suaranya. Dia takut Laras terbangun dari tidurnya. ”...kasian kalau Laras harus sekolah sejauh itu... Toh Budi Asih juga TK terbaik di sini... ” ”Kan di Mardi Grass ada mobil jemputan??!” ”Lantas? Apa kamu gak mikir, jam berapa Laras mesti bangun pagi? Jam berapa pula dia akan sampai di rumah? Karena rumah kita yang paling JAUH dari sekolah, pasti Laras yang dijemput DULUAN, dan diantar BELAKANGAN? Kamu tau itu???!! Kamu ngerti??” ”Kalo gitu, kita pakai supir aja, buat antar jemput Laras. Gampang, kan?!” Sri tetap tidak mau kalah. ”Aku tetap tidak setuju!” ”Kamu emang gak pernah nganggep pendapatku, kamu juga gak pernah anggep aku istrimu?!!” “Lalu kamu sendiri? Hm?! Apa pernah menanggap aku suamimu? Pernah ndak kamu minta pendapatku?” Mas Lukman mulai sinis, karena egonya sebagai kepala rumah tangga terusik.”Aku selalu ngasi tau kamu kok!” ”Apa?!! Kamu ngasi tau aku! NGASI TAU!! Ngasi tau kalo kamu udah buat keputusan ini-keputusan itu, BUKAN minta pendapatku!!!” ”Terserah – Terserah – TERSERAAAAHHHH!!!!” ”Laras GAK MAU sekolaaaahhh!!” Aku terdiam, kaget bukan main. Tiba-tiba saja dibelakangku Laras, putri semata wayang kami menangis tersedak-sedak dan berteriak sambil mengucek-ngucek matanya yang pastinya masih mengantuk karena ini masih jam 2 pagi! Aku mendekati Laras, tangis Laras semakin menjadi-jadi. Boneka teddy bearnya dipeluk kenceng-kenceng. ”Ssshh....sayaanng, kok bangun?! Mama berisik ya? Maafin Mama ya...yuk, bobo lagi, yuukk...Mama temenin...” suaraku melunak dan memeluk Laras. Sambil terisak-isak, Laras berkata,”La-Laras...hgk-hgk-hgk..ghak mau sekolah, Ma...hgk-hgk...gak mauuu...” ”Lho, kenapa??” Aku melepas pelukan dan melihat ke mata putriku yang telah berlinang air mata. ”...Kan kemaren Laras udah beli tas ransel Dora dan sepatu baru, sayang....” ”Hgk-ghk...Gara-gara sekolah Laras, Mama Papa berantemmm....hgk-hgk...Laras gak mau liat Mama Papa berantemmmm....Laras sediiih.....hgk-hgk....Laras gak mau sekolah....Mama jangan berantemmmm....hgk-hgk-hgk...” Mendengar itu, aku tertegun...lalu kembali memeluk Laras, kali ini lebih erat. Tiba-tiba dari belakangku, Mas Lukman memelukku dan Laras. Kehangatan pelukan Mas Lukman membuatku sadar akan keegoisanku. Aku merasa bersalah, bersalah pada Mas Lukman dan Laras, malaikat kecilku. |